Pemikiran Islam

Tinjauan Kritis atas Tawaran Epistemologi Burhani Muhammad Abed Al-Jabiri

Oleh: Syah Reza*

A.      Pendahuluan

Diskursus mengenai epistemologi merupakan terma yang menarik untuk dibahas karena epistemologi merupakan  basis utama bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Metode, sistem dan model pemahaman yang digunakan sangat menentukan produk dari sebuah pengetahuan. Karena itu, problem rusaknya pemikiran, kerancuan dan keraguan dalam memahami pengetahuan yang dialami oleh manusia umumnya, akibat dari kekeliruan epistemologi.

Dalam pemikiran kotemporer sebagian cendekiawan mengangap serius untuk mengkaji epistemologi terhadap khazanah keilmuan Islam. Dengan mengkaji epistemologi maka akan ditemukan akar dan bangunan pemikiran yang dimilikinya. Salah satu tokoh yang serius dalam bidang ini adalah Abed al-Jabiri. seorang pemikir Maroko yang  telah menggunakan metode epistemologi sebagai pisau analisisnya dalam mengkaji nalar Arab-Islam. Keseriusannya terlihat dari upaya pembongkarannya terhadap tradisi Arab-Islam. Hasil dari analisisnya terhadap epistemologi secara rinci ia tuangkan dalam sebagian besar karyanya terutama grand proyeknya Naqd al-‘Aql al-‘Arabi.

Dalam pandangannya, al-Jabiri menganggap keterbelakang umat Islam dalam ilmu pengetahuan dan pemikiran hingga saat ini karena dampak dari model epistemologi yang dikembangkan oleh para ulama dahulu sejak periode kodifikasi (‘asr tadwin) abad ke-2 H, dan puncaknya pada sekitar abad pertengahan oleh beberapa tokoh penting, seperti Al-Syafi’i (150-204H/767-819M), al-Asy’ari (260324 H/873935 M) dan Al-Ghazali (450-505 H/1058 –1111 M).[1] Ketiga tokoh tersebut menurutnya telah memberi corak bagi pemikiran Islam yang sangat bergantung pada dimensi teks, karena itu ia menyebutkan dunia Arab-Islam sebagai peradaban teks.

Al-Jabiri juga membedakan pemikiran yang berkembang di dunia Islam menjadi Timur (Masyriq) dan Barat (Maghrib). Ia mengkritik model epistemologi yang berkembang di wilayah Arab-Islam (baca: Timur) yang bercorak bayani-irfani. Sedangkan, model epistemologi terbaik menurutnya yaitu seperti yang pernah dikembangkan di wilayah maghrib – secara khusus yang dimaksudkannya yaitu Maroko dan Andalusia – yaitu model pengetahuan yang berpijak pada akal dan empiris (burhani).[2] Al-Jabiri mengklaim bahwa kemajuan Barat dalam ilmu pengetahuan dan pemikiran sejak renaissance hingga saat ini berkat kontribusi dari model epistemologi burhani yang digagas oleh Ibnu Rusyd dan beberapa ilmuan dan filosof Muslim maghrib abad pertengahan.

Beberapa pandangan di atas tersebut yang kemudian mengiringnya untuk mengagungkan epistemologi burhani sebagai solusi satu-satunya yang mampu membangun kembali kemajuan tradisi Arab-Islam. Jika dikaji maka akan didapati masalah mendasar dari pemikirannya. Hal tersebut terbukti dari banyaknya kritikan atas tawaran model epistemologi yang dibangun al-Jabiri.[3] Karena itu, menariknya al-Jabiri dibandingkan dengan pemikir muslim kotemporer lainnya seperti Nasr Hamid Abu Zaid, Muhammad Arkoun, Hassan Hanafi yaitu terletak pada model analisisnya yang fokus pada bangungan epistemologi. Sedangkan tokoh yang disebutkan di atas hanya mengambil analisis dengan mencampurkan berbagai metode kritik kotemporer.

Dalam tulisan ini akan dijelaskan bagaimana epistemologi yang dibangun oleh Al-Jabiri serta kecenderungannya terhadap model epistemologi burhani dan bagaimana pemahamannya dalam pembacaannya terhadap nalar-Arab yang menurutnya mengandung masalah mendasar. Oleh karena itu, penting kiranya pemikirannya dibahas untuk menemukan gambaran atas pembacaannya terhadap Nalar Arab-Islam.

B. Al-Jabiri dan Pemikirannya

Muhammad Abed al-Jabiri, lahir di Figuig, Maroko pada 27 Desember 1935 dan meninggal 3 Mei 2010. Ia adalah pemikir Islam kotemporer dan sebagai professor Filsafat dan pemikiran Islam di Mohammaed V University di Rabat. Sekolah dasarnya di madarasah burrah wathaniyah, sekolah menengahnya ditempuh di Casablanca dari tahun 1951-1953. Ia memperoleh Diploma Arabic High School setelah Maroko merdeka. Menyelesaikan S1 di Universitas Rabath, dan memperoleh gelar masternya pada tahun 1957, sedangkan gelar doktornya didapatkan pada tahun 1970 dengan disertasinya mengenai Ibnu Khaldun.[4]

Al-Jabiri memiliki banyak karya tulis berupa buku, artikel koran dan majalah. Di antara buku yang telah ia tulis yaitu,  Nahnu wa al-Turath, Ishkaliyah al-Fikr al-‘Araby al-Mu’ashir, al-Khithab al-‘Arabi al-Mu’asir: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah, al-Turats wa al-Hadatsah, Naqd al-‘Aql al-‘Arabi dan sebagainya. Terdapat lebih 30 buku yang ia tulis. Secara garis besar, kandungan dari seluruh karyanya tersebut membahas problem turats[5] yang melingkupi pemikiran Arab-Islam. Tujuannya dari pembahasan tersebut tentunya mengarah pada upaya untuk membongkar tradisi Arab-Islam yang selama ini dianggap terinstitusikan oleh kekuasaan teks, sehingga menghambat kebangkitan pemikiran Islam.

Al-Jabiri merumuskan setidaknya terdapat dua faktor yang menghambat kebangkitan pemikiran Arab-Islam. Pertama, adanya pembelaan tradisi – yakni segala yang asasi berkaitan dengan aspek pemikiran dalam peradaban Islam, mulai dari akidah, syariah (fiqh), bahasa, sastra, seni, teologi, filsafat dan tasawuf yang menemukan kerangka rujukan sejarah dan epistemologinya pada masa tadwin – abad 2 dan 3 H sampai bangkitnya imperium ustmani abad 10 H/16M bersamaan dengan tumbuhnya renaisance di Eropa– dalam rangka mempertahankan identitas dirinya dari ancaman pihak luar. Dengan demikian, proses kembali kepada “prinsip dasar” yang semestinya berjalan secara kritis dengan tujuan melampaui masa lalu dan melompat ke masa depan, akhirnya bertabrakan dan tumpang tindih dengan proses berlindung ke masa lalu dihadapan pihak asing.[6] Kedua, di sini, tradisi mengukuhkan otoritasnya sehingga menimbulkan wacana yang semakin jauh dari realitas. Titik tolak pemikiran bukan berasal dari realitas tetapi memori yang diadopsi dari tradisi sehingga realitas kotemporer dibaca dari perspektif tradisi.[7] Akibatnya alam pikiran generasi sekarang diarahkan oleh metode, konsep dan pikiran para pendahulu dan turut terbawa dan terlibat dalam konflik dan persoalan-persoalan mereka.[8]

Ia mengkritisi nalar Arab yang menurutnya gagal melakukan transformasi seiring berubahnya waktu dan setting sosial itu sendiri. Menurutnya potensi akal umat Islam masih terikat kuat pada teks dan ideologi Arab, hal tersebut yang menyebabkan pemikiran Islam terbelakang.[9] Ia menganalogikan kondisi umat Islam sekarang yaitu,

“…Orang yang tidur pada suatu malam untuk terjaga besok harinya, ia akan dapat mengikuti perjalanan hidupnya seperti biasa. Sedangkan Ashabul Kahfi (Penghuni gua) atau orang yang semakna dengan mereka, bagi mereka tidak cukup sekedar ‘terjaga’ untuk dapat mengikuti jalan kehidupan, tetapi pertama-tama dan utama mereka membutuhkan pembaruan pemikiran agar mereka dapat melihat dengan pandangan sendiri kehidupan yang baru itu sebagaimana adanya.[10]

Setalah mengemukakan penyebab keterbelakang pemikiran Arab-Islam, kemudian al-Jabiri menawarkan pembaharuan dengan meninjau ulang tradisi pemikiran Arab yang menurutnya sebagi solusi.  Dalam meninjau ulang tradisi pemikiran Arab, al-Jabiri mula-mula mendefinisikan proses pembentukan nalar Arab. Dalam menganalisis terbentuknya nalar Arab, al-Jabiri mendefinisikan nalar Arab dengan menjelaskan antara al-‘Aql Mukawwin dan al-‘Aql al-Mukawwan. al-‘Aql Mukawwin merupakan bakat intelektual (almalakah) yang dimiliki setiap manusia guna menciptakan teori-teori dan prinsip-prinsip universal, sedangkan al-‘Aql Mukawwan merupakan akumulasi teori-teori atau prinsip-prinsip –bentukan al-‘Aql Mukawwin- yang berfungsi sebagai tendensi pencarian kesimpulan, atau kaidah-kaidah sistematis yang ditetapkan, diterima dan dinilai sebagai nilai mutlak dalam suatu babak sejarah tertentu.[11]

Al-‘Aql Mukawwan bersifat relatif. Ia memiliki sifat berubah-ubah secara dinamis setiap waktu dan berbeda-beda antara satu pemikir dengan pemikir lainnya. Al-‘Aql Mukawwan adalah kumpulan prinsip dan kaidah yang diciptakan oleh ulama Arab-Islam di tengah-tengah kultur intelektual Arab sebagai alat produksi pengetahuan. Nalar inilah yang membentuk nalar Arab. Al-‘Aql Mukawwan tidak lain merupakan sistem kognitif “bersama” (nalar kolektif) yang berdiri dibalik pengetahuan.[12]

Jika membaca upaya yang dilakukan oleh al-Jabiri, maka ditemukan ada  kesamaan metode dengan kritik akal murni yang pernah dilakukan oleh Immanuel Kant. Proyek kritik nalar Arab Al-Jabiri dimaksudkan sebagai upaya kritik terhadap mekanisme kinerja al-‘Aql Mukawwin di satu sisi, dan kritik terhadap mekanisme al-‘Aql Mukawwan di sisi lain. Kritik nalar Arab secara operasional, menganalisis proses-proses kinerja al-‘Aql Mukawwin dalam membentuk al-‘Aql Mukawwan pada babakan sejarah tertentu dan mencari kemungkinan-kemungkinan al-‘Aql Mukawwin membentuk teori baru. Dengan melakukan kritik terhadap Nalar Arab maka berarti membongkar lapisan terdalam dari struktur pemikiran Arab untuk menguak “kecacatan epsitemologis” kemudian membenahinya atau menawarkan alternatif.[13]

Dari al-‘Aql Mukawwin tersebut telah berhasil memformulasikan al-‘Aql Mukawwan yang termanifestasikan dalam epistemologi bayani, irfani dan burhani. Karena itu, Kritiknya terhadap nalara arab sebenarnya kritiknya secara khusus kepada al-‘Aql Mukawwan. Kritiknya terhadap struktur epistemologi tersebut secara jelas tertuang terutama dalam karya besarnya Naqd al-‘Aql al-‘Arabi, yang merupakan grand proyek pemikirannya. secara rinci ia jelaskan dalam tiga karyanya yaitu, Takwin al’Aql al-‘Arabi, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi dan al-‘Aql al-Siyasy al-‘Arabi.

Dalam karya pertamanya Takwin al-‘Aql al-‘Arabi  Al-Jabiri menggambarkan konsepsi dasar yang mewarnai pemikiran Arab. Ia menaruh perhatian pada kerangka referensi yang berkembang sejak periode klasik  – yaitu masa kodifikasi (‘asr at-tadwin) abad 2 H atau 8 M – sebagai basis utama bagi terbentuknya model pemikiran Arab. Model yang berkembang dalam pemikiran Arab tersebut disimpulkan al-Jabiri dalam tiga sistem epistemologi yaitu,  epistemologi bayani,‘irfani, dan burhani.  Kemudian al-Jabiri mempertegas bahwa fokus kajiannya bukan mendalami muatan ideologis yang terkandung dalam sistem epistemologi dari pemikiran Arab, tetapi hanya melacak atau membongkar epistemologi yang mewarnainya. Ia bertujuan ingin melakukan analisis “ilmiah” terhadap “akal” yang terbentuk oleh Tradisi Arab-Islam [14]

Karya kedua Bunyah al-‘Aql al’-‘Arabi lebih banyak dicurahkan untuk menganalisis ketiga sistem epistemologi di atas. Analisisnya memaparkan berbagai model, karakteristik dan konsepsi dasar, yang kemudian diikuti dengan analisis atas berbagai contoh, dan sebagian besar referensinya diambil dari berbagai teks, yang dianggap menempati posisi klasik dalam pemikiran Arab.[15]

Jika karya pertama dan kedua al-Jabiri fokus membongkar proses pembentukan pemikiran Arab dan struktur  yang melingkupinya, maka pada karya ketiga Naqd al-Siyasi al-‘Arabi, al-Jabiri menuju pada sistem epistemologi yang membentuk  pemikiran dalam realitas sosial-politik Arab. Ia tidak mengambil tipologi epistemologi yang telah dijelaskan pada dua karya sebelumnya, melainkan memperkenalkan konsep baru, yang sesuai dengan objek kajian yang berbeda tersebut. Al-Jabiri memanfaatkan sejumlah konsep tentang imaginare sociale (baca: angan-angan sosial), yang bersumber dari pemikiran perancis modern, sebagai pendukung terhadap berbagai konsep yang diderivasi dari pemikiran Arab Klasik, dan selanjutnya al-Jabiri mengembangkan gagasannya seputar tiga konsep: suku (qabilah), rampasan perang (ghanimah), dan dogma (‘aqidah). Kemudian, dia mengkaji berbagai manifestasi dari kerangka konseptual ini, khususnya sejak periode perkembangan negara Islam (Islam Polity).[16]

Dalam ketiga karyanya tersebut al-Jabiri menganalisis secara detail sistem kerja epistemologi dalam struktur nalar Arab-Islam. Untuk mengetahui bagaimana proses dan struktur nalar Arab berkembang, maka perlu dideskripsikan terlebih dahulu ketiga epistemologi yang menjadi perhatian penting al-Jabiri dalam kajiannya.

C. Deskripsi Nalar Arab

Pembacaan al-Jabiri terhadap nalar Arab sebenarnya yang ia maksudkan adalah membaca nalar Arab sebagai perangkat bukan sebagai produk. Perangkat nalar Arab tersebut yang dimaknai al-Jabiri sebagai epistemologi (an-nidham al-ma’rifi), yang menjadi concern kajiannya.[17] Epistemologi adalah “kumpulan dari konsep, prinsip dan cara kerja untuk mencari pengetahuan yang mengandung dimensi sejarah dalam struktur tak sadar.”[18] Ia membagi epistemologi menjadi tiga, bayani, irfani dan burhani.

Pertama, epistemologi bayani. secara etimologis, kata bayan berasal dari kata ب-ي- ن . dalam kamus bahasa Arab kata ini memiliki arti pisah atau terpisah (al-fash/infishal) dan jelas atau menampakkan al-zuhur/al-izhar). Sesuatu dikatakan jelas apabila ia berbeda dari dan memiliki keistimewaan dibanding dengan lain. Oleh karena itu, pengertian yang kedua (al-zuhur/al-izhar) lahir dari pengertian yang pertama (al-fasl/al-infisal). Menurut al-Jabiri, pengertian yang pertama secara mendasar terkait dengan wujud ontologism, sementara pengertian yang kedua terkait dengan wujud epistemologis.[19] Para ahli ushul fiqh memberikan pengertian, bahwa bayan merupakan upaya mengeluarkan suatu ungkapan dari keraguan menjadi jelas.[20]

Menurut al-Jabiri, secara historis  sistem epistemologi bayani merupakan sistem epistemologi yang paling awal muncul dalam pemikiran Arab. Epistemologi bayani digunakan dalam kajian kebahasaan,  nahwu, balaghah, ushul fiqh (yurisprudensi Islam) dan ilmu kalam.[21] Epistemologi ini bersandar pada teks (al-Qur’an dan al-Hadist), ijma’ dan ijtihad sebagai referensi dalam merekontruksi konsep dalam kehidupan untuk memperkokoh keyakinan Islam.

Dalam peradaban Arab-Islam, diskusi mengenai kajian-kajian bayani dikelompokkan menjadi dua. Pertama, terkait dengan aturan dalam menafsirkan wacana, dan kedua terkait dengan syarat memproduksi wacana. Tradisi untuk menafsirkan wacana sudah muncul sejak zaman Rasulullah saw., yaitu ketika para sahabat meminta penjelasan tentang makna lafadz atau ungkapan yang terdapat di dalam al-Qur’an. Atau minimal sejak masa khulafaurrasyidin dimana banyak umat Islam bertanya kepada para sahabat tentang kejelasan makna ayat atau kata yang terdapat dalam al-Qur’an. [22] Pada masa ini, bayani  penyebarannya masih secara tradisional. Karena memang belum merupakan upaya ilmiah, dalam arti identifikasi keilmuan dan peletakan aturan penafsiran teks-teksnya.[23] Tradisi lisan dan riwayat masih menjadi karakter masa ini, yang kemudian menuju budaya ilmiah.[24]

Proses peletakan aturan-aturan penafsiran wacana dalam bentuknya yang baku dan tidak dalam aspek linguistiknya saja, dilakukan oleh al-Syafi’i (w. 204 H). al-Jabiri menempatkan al-Syafi’i sebagai perumus nalar Islam, karena ditangannyalah hukum-hukum bahasa bahasa Arab dijadikan acuan untuk menafsirkan teks suci, terutama hukum qiyas, dan dijadikan sebagai salah satu sumber penalaran yang absah untuk memaknai persolan-persolan agama dan kemasyarakatan.[25] Maka berfikir atau bernalar, menurutnya adalah berfikir dalam kerangka nash.

Kedua, epistemologi irfani. Kata irfani merupakan bentuk mashdar dari kata ع- ر- ف yang semakna dengan ma’rifah.[26] Dalam Lisanul ‘Arab, kata irfan bermakna al-ilm,[27]  ini sejalan dengan Al-Attas yang mendefinisikan ma’rifah juga bermakna al-‘ilm.[28] Kata irfan atau ma’rifah dikenal dalam kalangan sufi muslim (al-mutasawwifah al-islamiyyin) untuk menunjukkan jenis pengetahuan yang paling luhur dan tinggi yang hadir dalam kalbu melalui kasyf atau ilham.[29] Kaum sufi membagi pengetahuan sesuai dengan tingkatannya yaitu; burhaniyah, bayaniyah, dan irfaniyah, sebagaimana disebut dalam al-Qur’an dimana kata yaqin dipersandingkan dengan kata haq (al-Waqi’ah: 95), ilm (al-Takasur: 5), dan ain (al-Takatsur: 7).[30] Puncaknya, Suhrawardi membedakan dengan tegas antara al-burhan dan al-irfan, yang pertama disebut dengan al-hikmah al-bahtsiyah yang berpijak pada argumentasi, pencermatan dan rasio, sedangkan yang kedua disebut dengan al-Hikmah al-Isyraqiyyah yang berpijak pada al-kasyf dan al-isyraq.[31]

Menurut sejarahnya ada anggapan bahwa irfani tumbuh subur dalam era Hellenis,[32] sejak akhir abad ke-4 SM dan masa Yunani sampai pertengahan abad ke-7 M bersamaan dengan lahirnya Islam. Ia muncul sebagai perlawanan (baca: respon) atas rasionalisme Yunani, ini oleh al-Jabiri disebut dengan munculnya al-‘aql al-mustaqil (resigning reason) atau yang kemudian disebut dengan irfani untuk menjawab tantangan zaman.

Bagi kalangan irfaniyyun (baca: sufi), pengetahuan tentang Tuhan (hakikat Tuhan) tidak diketahui melalui bukti-bukti empiris-rasional, tetapi harus melalui pengalaman langsung. Karena menurut konsep irfan, Tuhan dipahami sebagai realitas yang berbeda dengan alam, sedang akal, indera dan segala yang ada di dunia ini merupakan bagian dari alam, sehingga tidak mungkin mengetahui Tuhan dengan sarana-sarana tersebut. Satu-satunya sarana yang dapat digunakan untuk mengetahui hakikat Tuhan adalah dengan jiwa (nafs).[33]

Ketiga, epistemologi burhani. Dalam bahasa Arab, al-burhan berarti argumen (al-hujjah) yang jelas (al-bayyinah). Dan distinc (al-fashl), yang dalam bahasa inggris adalah demonstration, yang mempunyai akar bahasa latin dari kata demontratio (berarti memberi isyarat, sifat, keterangan, dan penjelasan). Dalam perspektif logika (al-mantiq), burhani adalah aktivitas berfikir untuk menetapkan kebenaran melalui metode penyimpulan (al-istintaj), dengan menghubungkan presmis tersebut dengan premis yang lain yang oleh nalar dibenarkan atau telah terbukti kebenarannya. Sedang dalam pengertian umum, burhani adalah aktivitas nalar yang menetapkan kebenaran suatu premis.[34]

Istilah burhani yang mempunyai akar pemikiran dalam filsafat Aristoteles ini, digunakan oleh al-Jabiri sebagai sebutan terhadap sebuah sistem pengetahuan (nidham ma’rifi) yang menggunakan metode tersendiri dalam pemikiran dan memiliki pandangan dunia tertentu, tanpa bersandar pada otoritas pengetahuan yang lain. Ia bertumpu pada kekuatan natural manusia, yaitu pengalaman empiris dan penilaian akal yang mengikat pada sebab akibat. Cara berfikir seperti ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh ‘gaya’ logika aristoteles.[35]

Nalar burhani masuk pertama kali ke dalam peradaban Arab-Islam dibawa oleh al-Kindi (185-252 H) melalui sebuah tulisannya, yaitu al-Falsafah al-Ula. Sebuah tulisan tentang filsafat yang ‘disadur’ dari filsafat Aristoteles. Al-Kindi menghadiahkan tulisan ini kepada khalifah al-Makmun (218 H-227 H). Di dalam al-falsafah al-ula, al-Kindi menegasakan bahwa filsafat merupakan ilmu pengetahuan manusia yang menempati posisi paling tinggi dan paling agung, karena dengannya hakikat segala sesuatu dapat diketahui. Melalui tulisan itu pula, al-Kindi menepis keraguan orang-orang yang selama ini menolak keberadaan filsafat: filsafat adalah jalan mengetahui kebenaran.[36]

Secara umum dapat disimpulkan bahwa epistemologi bayani adalah sistem pengetahuan yang berpijak pada teks (nash), irfani sebagai sistem pengetahuan melalui intuisi atau dimensi bathin, dan burhani lebih menekankan pada potensi akal dan indera (demonstratif) dalam memahami pengetahuan. Ketiga epistemologi tersebut berkembang dalam realitas keilmuan Islam sebagai metode pengetahuan.

E. Kritik Al-Jabiri terhadap Bayani-Irfani

Klasifikasi wilayah Islam oleh kolonialisme telah mempengaruhi pemikiran al-Jabiri dalam memandang pemikiran Timur (masyriq) dan Barat (maghrib). Hal ini dapat dilihat dari caranya membagi corak pemikiran Islam masyriq yang cenderung pada epistemologi bayani dan irfani, sedang maghrib cenderung pada burhani. Meskipun ia tidak menafikan ketiga epistemologi tersebut sebagai bagian dalam pemikiran Arab-Islam, namun dalam karyanya dengan jelas ia mengkritik model penalaran yang berkembang di wilayah Timur  yang –menurutnya- digunakan untuk memenuhi kepentingan salah satu sistem, terutama bayani dan irfani.[37]

Terhadap epistemologi bayani, al-Jabiri menjelaskan bagaimana hegemoni bayani telah menyebar di seluruh wilayah Arab, termasuk Afrika Utara dan Andalusia. Dalam pandangannya ia menganggap bahwa proses penaklukan wilayah-wilayah non-Islam yang dilakukan oleh orang-orang Arab sebenarnya tidak hanya memiliki satu orientasi, namun juga mengoyak dominasi dan keutuhan tradisi kuno yang menjadi identitas wilayah tersebut, dan mengantinya dengan sistem pengetahuan Arab –yang bercorak bayani– dengan berbagai unsur-unsur pembentuknya, yakni selain memperluas wilayahnya dan juga menarik seluruh otoritas yang dimiliki wilayah tersebut.[38] Hal tersebut mempengaruhi model dalam menyebarnya ideologi bayani  pada generasi selanjutnya di wilayah Arab.

Dalam hal ini, al-Jabiri menganggap al-Syafi’i adalah sebagai tokoh awal yang mengukuhkan ideologi tersebut (baca: bayani). Ia menuduh Imam al-Syafi’i sebagai tokoh yang telah membakukan nalar Arab, sehingga menghambat kemajuan pemikiran di dunia Islam. Ia mengatakan bahwa,

“…Syafi’i adalah legislator utama bagi nalar Arab. Ra’yu yang sebelumnya bersifat bebas independen (khususnya pada Abu Hanifah) kemudian dibatasi oleh  Syafi’i dengan batasan-batasan yang memperpendek jurang yang memisahkan antara para pendukungnya dengan pendukung atsar, bahkan mengunggulkan yang pertama atas yang kedua dengan beranggapan bahwa berjalannya yang pertama bergantung kepada yang kedua.”[39]

Kemudian, pengaruh kaedah-kaedah al-Syafi’i dalam nalar Arab dianggap al-Jabiri telah membentuk metode yang baku terhadap pemikiran Islam. Hal tersebut dapat dilihat dari metode penalaran yang diwariskan al-Syafi’i pada ahlus sunnah setelah ia wafat tahun 204 H.[40] Al-Syafi’i meletakkan dan sekaligus membatasi “kaedah-kaedah metodik” dari ushulnya  bagi pemikiran Sunni kepada empat hal; al-Quran, sunnah, ijma’ dan qiyas. Dalam masalah tertentu – misal masalah khilafah – ketika tidak ada teks (al-Qur’an dan Sunnah) yang berbicara tentangnya, maka ijma’ dan qiyas menjadi landasan yang akan menentukan kesimpulan terhadap masalah tersebut.[41] Al-Jabiri melihat, pengaruh dari metode tersebut tampak dari teologi Asy’ariyah yang menerapkan metode ushul fiqh al-Syafi’i yang kemudian digunakan lebih banyak dalam ijtihad kalam (teologi)nya.[42] Sebenarnya tidaklah demikian, apa yang dilakukan al-Syafi’i sebenarnya penjabaran berupa teori dan metode istinbath hukum yang telah dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in.

Kemudian al-Jabiri menganggap metode qiyas atau analogi sudah tidak memadai lagi untuk digunakan karena corak kebudayaan saat ini sama sekali tidak bisa dianalogikan dengan zaman ketika Al-Qur’an diturunkan atau dengan zaman al-Syafi’i sendiri. Karena itu kita harus meninggalkan analogi dan beralih pada tradisi Islam di Barat, yakni pemikiran al-Syathibi tentang tujuan-tujuan Syariah (maqashid al-syari’ah).[43] Langkah al-Syathibi dalam merumuskan tujuan syari’ah tersebut yang ia bagi menjadi tiga –dharuriyyah, hajiyyah dan tahsiniyyah – adalah langkah yang sangat revolusioner dalam perkembangan hukum Islam.[44]  Karena itu menurutnya, tugas para pemikir Islam saat ini adalah merumuskan kembali tujuan-tujuan syariah sesuai dengan tuntutan zaman dengan berpijak pada apa yang telah digariskan oleh al-Syathibi.[45]

Jika dipahami dari pernyataan al-Jabiri di atas, sebenarnya rumusan al-Syatibi berbeda jauh dengan apa yang diinginkan oleh al-Jabiri. Al-Syatibi dalam konsep maqashidnya mengatakan bahwa,

“Tujuan diturunkan syari’ah oleh Allah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Bukanlah tujuan syariat untuk membebankan dan menyusahkan manusia. Hukum syari’at tetap berlaku sebagai beban yang harus direalisasikan. Karena tidak mungkin syariat diturunkan bukan untuk dipahami dan dipraktikkan manusia.”[46]

Dalam pernyataan al-Syatibi tersebut secara substansi dapat dipahami bahwa dalam tujuan syari’at itu terkandung hak dan kewajiban manusia. Namun, al-Jabiri nampak tidak mengambil konsep tersebut secara utuh. Ia hanya mengambil teori dan metode tersebut – yang digunakan al-Syatibi – secara parsial tentang tujuan syari’ah diturunkan hanya memenuhi hak-hak manusia.[47]  Ia menyimpulkan bahwa substansi maqasid tersebut yang membedakan dengan ulama fiqh yang hanya membahas kewajiban seorang mukhallaf dalam menjalankan Syari’at, tapi mengabaikan hak-haknya. Ia mengatakan,

“Para fuqaha itu berfikir tentang maqashid asy-syari’ah dari sudut keingininannya untuk memberikan penjelasan tambahan mengenai rasionalitas hukum-hukum syari’at, yang mencakup semua prilaku para mukhallaf, yakni dari sudut kewajiban, bukan hak. Karena itu teks-teks yang ditulis para fuqaha mengenai tema ini tidak dapat diinterpretasikan dan diperlakukan sebagai teks-teks yang dapat dijadikan titik tolak bagi pemikiran tentang HAM.”[48]

Dalam pandagannya tersebut, dengan jelas ia memiliki pemahaman dikotomis dengan memisahkan hubungan antara hak dan kewajiban manusia dalam mengaplikasikan hukum syariat. Padahal syariat diturunkan Allah untuk kemaslahatan manusia agar memudahkannya untuk menjalankan kewajiban baik itu hubungan dengan Allah (ibadah) dan maupun dengan manusia (hubungan sosial).

Pandangan tersebut di atas tampaknya yang menjadikan alasan al-Jabiri mengkritik konsep analogi (qiyas) yang dirumuskan imam Al-Syafi’i. Karena menurutnya qiyas tidak mampu mengakomodir kebutuhan kotemporer di satu sisi (contoh HAM), dan juga karena terlalu berpegang pada teks (bayani) di sisi lain. Makanya ia menawarkan konsep maqashid asy-syari’ah meskipun sebenarnya jauh dari apa yang diterapkan oleh al-Syatibi. Padahal baik qiyas maupun maqashid tetap relevan dan tidak bisa diabaikan sebagai metode penting dalam ushul fiqh.

Setelah melakukan kritiknya terhadap bayani sebagai tokoh utama yang disorotnya yaitu Imam al-Syafi’i, selanjutnya al-Jabiri juga mengkritik irfani dalam tradisi arab-Islam yang menurutnya tidak ilmiah. Ia menganggap irfani merupakan warisan dari tradisi kuno pra-Islam hermetisme.[49] Ia menghubungkan model irrasional tersebut kepada Ibnu Sina dan al-Ghazali. Kedua tokoh ini menurutnya telah menyuburkan sistem pengetahuan irfani ke dalam tradisi Arab-Islam.[50] Al-Jabiri mengaitkan dan menyamakan paham irrasional pra-Islam dengan sistem irfani. Padahal paham irrasional yang berkembang di Arab pra Islam merupakan ajaran syirik seperti gnostisisme Almanawiyah,[51] bukan irfani sebagaimana yang berkembang dalam Islam. Karena nalar Arab (baca: irfani) merupakan nalar Islam murni, dimana sejak awal Islam menolak semua tradisi sebelumnya yang mengarah kepada syirik terutama aliran yang irrasional (gnostik), bukti ini yang menurut Ali Harb dilupakan al-Jabiri.[52] Meskipun ada kemiripan dengan ajaran gnostisism pra-Islam, tapi tidak bisa dikatakan dengan mudah irfani terpengaruh karena alasan ajaran gnostik berkembang sebelumnya dan Islam datang kemudian.

Selain itu, Kehadiran irfani dalam tradisi Arab-Islam – menurut al-Jabiri – tidak lain sebagai cara menyingkirkan akal itu sendiri. Ia menganalogikan bahwa sangat tidak mungkin jika di dalamnya (irfani) kita hendak meneliti sejauh mana ia mengandung sebab dan pengaruh untuk kemajuan dan kebangkitan. Sebab metode irfani bukan bagian dunia tetapi akhirat. Karena itu, ia menyimpulkan bahwa epistemologi irfani bukan sebagai ilmu, dan tidak mungkin memuat apa yang seharusnya direalisasikan oleh ilmu. Ia mempertanyakan apakah mungkin merealisasikan kebangkitan dengan sihir?.[53] Penolakannya terhadap irfani jelas dianggap karena tidak rasional. Artinya, irfani tidak bisa dijabarkan dalam rumusan-rumusan ilmiah maupun bukti akal, sedang ilmu menurutnya membutuhkan kedua bukti tersebut. Jika yang diinginkan ilmiah demikian, maka al-Jabiri memiliki pemahaman yang sama dengan konsep ilmu dalam epistemologi Barat, yang hanya mengakui ilmu itu sesuatu yang bisa diukur dengan kasat mata (rasional-empiris) dan bukan yang tersembunyi di luar indera (immaterial).[54] Memang secara epistemologi ruang kajian antara pengetahuan material dan immaterial (baca: irfani) berbeda, namun keduanya saling terkait dan tentu tak bisa diabaikan apalagi dipisahkan. Namun al-Jabiri memisahkannya, maka wajar jika Ali Harb mengatakan pemahaman al-Jabiri dikotomis.[55]

Dalam Islam, epistemologi irfani memiliki posisi penting dalam memahami ilmu. Karena setiap ilmu memiliki hubungan dengan Sang Pencipta, dan kedekatan dengan Sang Pencipta menjadi bagian penting sehingga mempengaruhi kualitas sebuah ilmu sekalipun ilmu tersebut berpijak pada data ilmiah. Al-Ghazali mengatakan bahwa tidak berbeda antara ‘ilm dan ma’rifah, mereka adalah dua istilah dengan satu makna (Al-Ghazali asserts that ‘ma’rifah’ and ‘ilm’ are not opposites, they are two terms with one meaning, yet he does not clarify this point further).[56] Senada dengan Al-Ghazali, Al-Attas menyebutnya pengetahuan irfani dengan istilah hikmah atau juga bisa disebut dengan ma’rifah.[57] Maka, irfani merupakan bagian terpenting dari pengetahuan, yang secara khusus lebih tinggi dari pengetahuan empiris.

Begitu juga dengan pemahamannya di atas ketika al-Jabiri memandang adanya perbedaan orientasi dari epistimologi yang berkembang di dunia Arab. Irfani berada dalam persoalan akhirat, sedang burhani pada persoalan dunia. Pandangan tersebut jelas dikotomis. Padahal konsep epistemologi Islam mencirikan ketauhidan, kesatuan dan integral. Baik irfani maupun yang lainnya (bayani dan burhani) tetap berada dalam kebutuhan yang saling paralel, di satu sisi untuk kebutuhan dunia dan di sisi lain untuk akhirat.

Penilaian al-Jabiri terhadap epistemologi irfani hanya dituju pada nalar Arab-Islam sedangkan yang berkembang di wilayah maghrib (baca: Andalusia-Maroko) tidak pernah disinggung. Padahal di wilayah maghrib juga berkembang sufisme Yahudi (kabilah as-Safaradiyyah) dan memberi pengaruh pada tradisi setempat.[58] Hal ini juga diakui oleh Hasan Hanafi -sebagaimana dikutip oleh Shalah Ahmad Ibrahim-, ia mengatakan “sufisme Maghrib merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari dan perjalanan kebangsaan di dalamnya.”[59] Karena itu, dalam pandangan Ali Harb, al-Jabiri memiliki pandangan yang ‘picik’ dalam menilai pengetahuan irfani. Ia mengatakan,

“…Al-Jabiri berpandangan ‘picik’ manakala mencermati pengetahuan irfani, karena ia beraliran sentralistik. Pandangannya terpaku pada kajian disiplin keislaman dengan membatasi diri pada dunia Arab, namun tidak semuanya, karena pandangannya juga sangat sempit manakala mencermati dunia ini agar dapat diringkas dalam wilayah Sunni, bukan wilayah Syi’ah, lalu pandangannya juga menjadi sempit sekali, terbatas pada orang Maghrib, bukan Timur. oleh karena itu, rasionalitas menurut al-Jabiri adalah sentralistik, terbatas pada orang Maghrib dan kesunniannya. Adapun mereka yang lain, baik yang Arab maupun yang non-Arab, atau yang sunni maupun yang syi’ah dimasukkan ke dalam dunia irasional, mitos, sihir dan ahli nujum.”[60]

Dapat disimpulkan bahwa al-Jabiri memiliki masalah epistemologis yang serius dalam menganalisis nalar bayani dan irfani. Ia memiliki sikap tidak objektif dalam memberikan penilaian terhadap Nalar yang berkembang di wilayah Timur (baca: Masyriq).  Selain itu, pandangannya yang dikotomis dalam memahami epistemologi baik bayani maupun irfani, ia juga menyalahkan sebagian tokoh seperti Imam asy-Syafi’i, Ibnu Sina dan Al-Ghazali yang telah membekukan pemikiran Islam. Ia juga menganggap irfani tidak ilmiah dan tak bisa diukur prestasinya dalam membangun peradaban, dan menyamakannya dengan tradisi kuno pra-Islam yang irrasional dan memiliki ajaran syirik. Maka, jelas keilmiahan analisisnya masih perlu ditinjau ulang.

F. Kritik terhadap Tawaran Burhani Al-Jabiri

Kritikannya terhadap model epistemologi di wilayah Timur sebenarnya dalam rangka  ia menawarkan epistemologi burhani yang berkembang di Maghrib sebagai alternatif.[61] Secara sadar ia mengakui sendiri bahwa kecenderungannya pada epsitemologi tersebut. Ia mengatakan,

“…Kami memiliki kecenderungan kepada akal dan berjalan dengan bantuannya, namun bukan berdasar objektifitas pembahasan dan tidak pula bertolak dari konsep ‘idealitas’ bagi rasional dan irasional.”[62]

Ia mengklaim bahwa tokoh-tokoh besar Islam di Andalusia -seperti Ibnu Rusyd, Ibn Khaldun, Ibnu Hazm, al-Syatibi dan semua yang berada di wilayah Barat- adalah tokoh yang telah berhasil membangun sebuah tradisi kritis yang ditegakkan di atas struktur berpikir yang demonstratif (nizam al-‘aql al-burhani).[63] Secara tegas ia mengatakan bahwa rasionalisme murni hanya berada di Barat, bukan Timur. Meskipun di Timur burhani berkembang diawali di tangan al-Kindi, namun menurutnya upaya yang dilakukan oleh al-Kindi (185 H/801 M) dalam memperkenalkan sistem burhani ke tengah peradaban Arab-Islam hanya bersifat parsial (juziyyah). Usaha al-Kindi dengan menulis al-falsafah al-Ula tidak berada dalam konteks memperkenalkan “nalar rasional” seperti yang dicirikan dalam filsafat Aristoteles. Kepentingan  al-Kindi –dianggap al-Jabiri – tidak lain adalah menyerang kalangan fuqaha yang ketika itu menolak filsafat. Lanjutnya, usaha yang dilakukan oleh al-Kindi merupakan sekedar usaha yang pragmatis.[64] Padahal tidak lah demikian, al-Kindi telah mendalami filsafat sejak awal, merumuskan hubungannya dengan agama yang saling terkait.  Ia menerjemahkan karya Aristoteles dan memahami logikanya dan membatasi akal menjangkau hal-hal yang prinsip mengenai Tuhan, wahyu, kenabian dan sebagainya.

Model epistemologi burhani yang dimaksudkan al-Jabiri adalah seperti yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd –yang secara khusus- menggunakan logika murni Aristoteles yang mengandalkan teori sebab-akibat (causality).[65] Bahkan, Ibnu Rusyd memberikan komentar secara luas dalam memahami karya Aristoteles. [66] Dalam hal ini, Ibnu Rusyd menurutnya telah menciptakan gelombang pemikiran transformatif dalam menggerakkan roda kemajuan dengan memberikan peluang bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Dan Ibnu Rusyd memiliki kontribusi besar mendamaikan antara burhani dan bayani, atau antara akal dan wahyu.[67]

 Al-Jabiri penyamaan antara sistem akal (rasionalism) dan sistem alam (empirism) dengan tujuan menjadikan akal sebagai otoritas yang berada di atas segala otoritas ia berargumentasi bahwa seringkali al-Qur’an mengakhiri ajakannya itu dengan ungkapan-ungkapan yang mengisyaratkan bahwa sistem alam pada dasarnya adalah sistem akal itu sendiri, atau sekurang-kurangnya, yang pertama menjelaskan dan membuktikan yang kedua.[68] Misalkan firman Allah: sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam, pada kapal yang berlayar di laut yang membawa manfaat bagi manusia, dan apa yang diturunkan Allah dari langit, yang dengannya Dia hidupkan bumi setelah ia mati, pada makhluk-makhluk melata yang ditebarkan-Nya di antara langit dan bumi, semua itu adalah tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.[69]

Memperkuat argumentasinya, al-Jabiri mengemukakan logika Abu Bakar al-Razi (Razes) yang dikutipnya melalui buku “al-Tibb al-Ruhani” bahwa Al-Razi memulainya dengan pujian terhadap akal. Al-Razi mengatakan,

“..Akal adalah nikmat Allah yang paling besar, paling bermanfaat dan paling baik. Maka jangan sampai kita menurunkan derajat dan martabatnya. Jangan kita menjadikannya sebagai seuatu yang diarahkan padahal ia yang mengarahkan, jangan jadikan ia yang dikendalikan sebab ia yang mengendalikan, jangan jadikan ia yang mengikuti karena ia yang diikuiti. Kita harus mengembalikan persolan-persoalan kita kepadanya, mempertimbangkan dengan mendasarkan kepadanya, bersikukuh, melaksanakan dan melakukan penolakan dengan berdasar arahannya..”[70]

Karena itu, al-Jabiri menyimpulkan bahwa akal adalah satu-satunya potensi yang harus dijadikan ototitas tinggi dalam epistemologi untuk mengubah tradisi  dari keterpurukan. Akal harus memiliki ruang yang tidak dibatasi oleh sesuatu, terutama dari pengaruh politik dan ideologi tertentu, sebagaimana pertarungan antar epistemologi yang berkembang di Arab menurutnya hanya karena untuk menyuburkan kepentingan politik yang berkuasa. Makanya, ia menawarkan bahwa metode  burhani murni sebagai solusi alternatif karena berpijak pada nilai-nilai ilmiah yang mengandung nilai objektif, dengan menjadikan epistemologi lain sebagai ‘pengekornya’.

Padahal hakikatnya akal memiliki keterbatasan dan tidak mampu menjangkau hal-hal yang berada di luarnya, apalagi wilayah-wilayah wahyu. Seperti yang dikatakan oleh  Ikhwan al-Shafa[71] bahwasanya akal tidak mampu menangkap makna hakikinya dan jika mereka mengikuti apa yang ditunjukkan oleh teks wahyu secara literal, ternyata tidak bisa diterima akal, sehingga mereka kemudian terjatuh ke dalam keraguan dan kebingungan.”[72] Ibn Taimiyyah juga mengatakan hal yang sama. Ia menolak prinsip akal sebagai landasan wahyu dan landasan bagi menentukan kesahihan wahyu yang berarti mendahulukan akal daripada wahyu. Alasannya, karena keberadaan wahyu berasal dari nabi dan bukan dari akal. Kesahihan wahyu tidak mungkin bergantung pada pengetahuan yang diperoleh akal, sebab sifat dapat difahami atau diketahui oleh akal bukanlah sifat lazim (sifah lazimah) sesuatu benda.[73]  Baginya, asas kesahihan wahyu adalah kebenaran Nabi (sidq al rasul ). Mendahulukan akal berarti mengutamakan pendapat filosof, mutakallim atau sufi daripada risalah Nabi dan dapat mengakibatkan bid’ah dan kekufuran.[74]

Sebenarnya epistemologi burhani yang ditawarkan oleh al-Jabiri secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa kemajuan itu hanya bisa ditempuh dengan rasionalisme. Baginya, akallah yang mampu mengantarkan peradaban manusia ke puncak kegemilangannya. Namun, sayangnya ”akal”  yang disebut al-Jabiri itu  adalah akal yang dikonsepsikan oleh Barat, yaitu akal positivis yang hanya berpaut pada data-data eksperimental.[75]

Dalam mempertahankan burhani (rasionalitas) model Arab Maghribi, al-Jabiri sering melakukan pemilahan atas turats yang hanya mendukung pendapatnya saja. Oleh sebab itulah, banyak penulis mengkritik pemikirannya seperti ‘Ali Harb yang menilai bahwa kajian turats al-Jabiri penuh dengan muatan ideologis, Arab centrism.[76]

Selain itu, Taha Abdurrahman, dalam Kitabnya Tajdid, misalnya, adalah salah seorang diantara yang kritis menilai bangunan epistemologi dan metodologi al-Jabiri dalam mengkritisi turats. Bahkan, ia berkesimpulan, al-Jabiri sendiri inkosisten. Klaim pembacaan integral-komprehensif yang ditawarkannya terbentur dengan penerapan teorinya yang parsial,  dengan hanya mengunggulkan nalar burhani. Ia mengatakan bahwa  epistemologi bayani, misalnya, telah menghasilkan Fiqh, Usul Fiqh, Tafsir, dan Kalam. Sementara metode Irfani melahirkan tasawwuf, dan Burhani menelurkan filsafat. Itu artinya, dia bersikap parsial (tajzi’iyyah). Padahal dia menyatakan, bahwa Fiqh, Usul Fiqh, Tafsir, Nahwu, Balaghah adalah merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Artinya,  seorang ahli fiqh bisa berpikir dalam kerangka bayani, irfani, dan burhani. Seperti al-Ghazali adalah pemikir yang menggunakan epistemologi bayani, irfani dan burhani sekaligus. Kenyataan ini berlawanan dengan pernyataannya yang mengkategorikan pemikiran al-Ghazali kepada bentuk bayani dan irfani, dan tidak burhani sama sekali.[77]

Selain itu, Dalam hal pengklasifikasian wilayah Islam, Hassan Hanafi dalam buku hiwar al-Masyriq wa al-Maghrib secara tidak langsung juga mengkritik Al-Jabiri. Ia mengatakan,

“…baik pengkotak-kotakan dunia Islam menjadi Islam dan Arab, maupun pembagian dunia Arab menjadi dua wilayah yaitu masyriq dan maghrib adalah upaya yang dibuat oleh para kolonis di era kolonialisme saat menjajah  wilayah Islam. Generasi kita mengapresiasi pengkotak-kotakan tersebut, bahkan sebagian dari mereka merasa berada pada salah satu bagian di dalamnya. Mereka mengkampanyekan karakteristik tipikal wilayah Maghrib, yaitu Rasionalis-ilmiah-Naturalistik dan sebagai lawannya adalah wilayah Masyriq yang Sufistik-Iluminatif-Agamis, sehingga penentuan karakteristik model tersebut membuat wilayah Maghrib lebih dekat ke Barat dan Masyriq lebih dekat ke Timur. Selanjutnya, persatuan dan kemerdekaan dunia Arab sebagai pusat “wahyu” dalam dunia Islam menjadi hilang, diiringi dengan hilangnya wilayah geografis Arab dengan terpecahnya setangah dari wilayahnya ke Barat dan setengah lainnya ke Timur.”[78]

Masih banyak lagi kelemahan-kelemahan model yang ditawarkan al-Jabiri untuk mengkaji turats yang telah dibahas oleh para intelektual Islam.  Meskipun berlebihan tapi nampaknya wajar apa yang dikatakan oleh Nuruddin al-Ghadir bahwa sesungguhnya buku-buku al-Jabiri itu tidak layak terbit, karena pada prinsipnya kajian-kajiannya dalam turats bukan untuk merekonstruksi turats, tapi malah menghancurkannya.[79]

Kritikan tokoh terhadap tawaran epistemologi burhani al-Jabiri diatas dapat disimpulkan bahwa ada masalah dalam bangunan epistemologinya. Pertama metode burhani yang diinginkannya bukan sepenuhnya model burhani Ibnu Rusyd. Kedua, Ia berpijak pada model positivism barat modern dalam memahami pengetahuan seperti yang di sampaikan di atas. Ketiga, fanatismenya terhadap wilayah maghrib membuat analisisnya tidak objektif. Sehingga tidak bisa dipungkiri jika pandangannya mendapat kritikan tajam dari berbagai tokoh.

F. Kesimpulan

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, al-Jabiri menghendaki pengkajian keilmuan Arab-Islam yaitu semata bersandar pada supremasi rasio dan empiris. Model seperti yang ditawarkan al-Jabiri tersebut mengandung masalah mendasar. Pertama, superioritas al-Jabiri terhadap epistemologi burhani  dengan ‘membuang’ sistem epistemologi yang lainnya (bayani-irfani) sebenarnya dapat merusak bangunan pemikiran Islam. Karena pada prinsipnya, sistem epistemologi Islam tidaklah terpisah. Ketiganya saling integral, berkaitan satu sama lain. Hal tersebut tercermin dari sebagian besar ulama muslim, semisal Imam Al-Ghazali dan Ibnu Sina yang memadukan ketiga epsitemologi tersebut (bayani, irfani dan burhani) dalam mengembangkan keilmuan. Kedua, jika berpijak hanya pada burhani, maka epistemologi Islam tidak bedanya dengan model Barat yang mendewakan akal, dan wahyu diposisikan sebagai objek ‘mainan’ akal yang bebas di ekspresikan. Padahal akal terbatas dalam menggapai kebenaran dibandingkan wahyu yang memang mutlak.

Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa meskipun al-Jabiri menawarkan epistemologi burhani model Ibnu Rusyd, namun sesungguhnya dalam aplikasinya ia meninggalkannya, dan lebih banyak menggunakan pemikiran yang bersumber dari Barat. mengambil sesuai dengan kecenderungan ‘nafsu pemikiran’. disini jelas terlihat ada kekacauan epistemologi dari kajian pemikirannya.

Akal  di satu sisi memang menjadi hal yang sangat penting dalam pengembangan pemikiran. Namun disisi lain, jika ia tidak diimbangi dengan dimensi spiritual dan mengacu pada teks (baca: wahyu) sebagai rujukan asal, maka keobjektifan sebuah pemikiran akan ‘pincang’. Karena keilmuan Islam bersifat Tauhidi, maka sistem apapun yang dibangun dalam keilmuan harus juga mencirikan kesatuan. Sesungguhnya disini letak perbedaan mendasar worldview Islam yang tauhidi dengan worldview barat yang dikotomis. Maka jika kita menganalisa keterpengaruhan Al-Jabiri dalam mengadopsi metodologi Barat jelas terlihat. Sebagaimana metodologi-metodologi yang digunakannya banyak meminjam dari metode mazhab-mazhab filsafat Perancis, dalam usahanya mendekosntruski epistemologi Arab Islam. Maka wajar saja hasil dari metodenya memiliki kesamaan dengan metode orientalis dalam mengkritik tradisi Islam. Niatnya menawarkan solusi tapi justru merusak konsep yang telah utuh. Wallahu’alam.

 *Peneliti AFSIC (Aceh Forum for the Study of Islamic Civilization)



[1] Selain tokoh yang disebutkan, ia juga menyalahkan filosof muslim seperti Ibnu Sina, al-Farabi, al-Kindi yang telah membentuk epistemologi irrasional dalam  tradisi Arab-Islam, sekalipun mereka juga menggunakan metode burhani. Lihat, Muhammad Abed al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut, Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyah, h..

[2] Penjelasan tentang ini dapat dilihat dalam karyanya Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut, Markaz ad-Dirasat Wahdah al-‘Arabiyah, 2007, bagian ketiga, h..

[3] Kritikan-kritikan tersebut datang dari pemikir Arab kotemporer seperti George Tarabisyi, Thaha Abdurrahman, Ali Harb hingga Hassan Hanafi.

[4] Muhammad Abed al-Jabiri, Formasi Nalar Arab; Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana interreligious, terj. Imam Khoiri, Yogyakarta, IRCiSoD, 2003, dan lihat juga, http://en.wikipedia.org/wiki/Mohammed_Abed_al-Jabri.

[5] Tradisi (Turats) adalah “sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita, yang berasal dari masa lalu, apakah itu masa lalu kita atau selain kita, atau masa lalu tersebut adalah masa lalu yang jauh maupun yang dekat.” Lihat, Muhammad Abed al-Jabiri, al-Turats wa al-Hadatsah, Dirasah wa Munaqasyah, Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1991, h..

[6] Muhammad ‘Abed Al-Jabiri, Isykaliyat al-Fikr al-‘Arabi al-Muashir, Beirut, Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyah, 1989, h..

[7] Muhammad Abed al-Jabiri, al-Turats wa al-Hadatsah.., h..

[8] Ibid., h..

[9] Muhammad Abed al-Jabiri, Kritik Kotemporer atas Filsafat Arab-Islam, terj. Moch Nur Ichwan, Yogyakarta: Islamika, 2003, h..

[10] Muhammad Abid al-Jabiri, al-Din wa al-Dawlah wa Tathbiq al-Syari’ah, Beirut, Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyah, 1996, h..

[11] Muhammad Abed al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut, Markaz Dirast al-Wihdah al-‘Arabiyah, h..

[12] Istilah michel Foucoult disebut episteme. Episteme terbentuk dari jaringan seperangkat konsep yang merupakan pra-syarat kemungkinan lahirnya ilmu pengetahuan dalam satu fase waktu tertentu.

[13] Muhammad Faisol, “Struktur Nalar Arab-Islam Menurut Abed al-Jabiri”, dalam Jurnal Tsaqafah, vo.VI, No. 2, Oktober 2010, h..

[14] Muhammad Abed al-Jabiri, Takwin al-‘Aql.., h..

[15] Lihat dalam karyanya Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut, Markaz ad-Dirasat Wahdah al-‘Arabiyah, 2007.

[16] Waled Harmaneh, pengatar buku Muhammad Abed al-Jabiri, Kritik Kotemporer …, h..

[17]  Muhammad Abed al-Jabiri, Takwin al-‘Aql.., h..

[18]  Ibid., h..

[19]  Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql …, h..

[20] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasr Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, cet. V, Yogyakarta, Penerbit Belukar, 2008, h..

[21] Lihat, Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql…, Bab. I.

[22] Muhammad Faisol, “Struktur Nalar Arab-Islam.., h..

[23] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu…, h..

[24] Dalam istilah al-Jabiri, dari proses ketidaksadaran atau tidak direncanakan (al-la’i) menuju kepada kondisi sadar (al-wa’i), lihat, Muhammad ‘Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql …, h..

[25] Ibid., h..

[26] Ibid., h..

[27] Ibid.

[28] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, Kuala Lumpur, ISTAC, 2001, h..

[29] Sebagaimana Imam Al-Ghazali yang meyakini bahwa ma’rifah sebagai pengetahuan yang tertinggi.

[30] Al-Qusyairi mempertegas perbedaan tersebut, bahwa ilm al-yaqin adalah pengetahuan yang dihasilkan dengan syarat burhan (rasional), ain al-yaqin adalah pengetahuan dengan pertimbangan bayan (teks), dan haq al-yaqin adalah pengetahuan yang dihasilkan lewat ma’rifah (deskripsi kongkret). Yang pertama dipegang oleh ashab al-‘uqul, kedua ashab al-‘ulum, dan ketiga ashab al-ma’arif. Dikutip dari, Muhammad Faisol, “Struktur Nalar…, h..

[31] Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql.., h..

[32] Era dimana pemikiran filsafat hanya dimiliki orang-orang Yunani, yaitu sejak abad ke-6 atau ke-5 sebelum Masehi sampai akhir abad ke-4 sebelum Masehi. Lihat, http://www.benmath.co.cc/ 2010/12/filsafat-helenisme-neoplatonisme.html.

[33] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu.., h..

[34] Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql.., h..

[35] Ibid.

[36] Ibid., h..

[37] Muhammad Abed al-Jabiri, Kritik Kotemporer atas Filsafat Arab-Islam, terj. Moch Nur Ichwan, Yogyakarta, Islamika, 2003, h..

[38]  Muhammad Abed al-Jabiri, Takwin al-‘Aql Al-‘Arabi…, h..

[39]  Muhammad Abed al-Jabiri, Takwin al-‘Aql Al-‘Arabi…, h..

[40] Ibid.., h..

[41] Al-Jabiri menyingung tentang persoalan sejarah tentang khalifah peganti Rasulullah Saw., yang menjadi polemik dalam sejarah umat Islam, terutama antara Syiah dan Sunni. Jika Syi’ah berdasarkan ‘teks’ wasiat dengan menggunakan ra’yu, dengan alasan bahwa tidak masuk akal jika Nabi membiarkan masalah ini dalam kekacauan dan tidak meninggalkan wasiat. Maka, Sunni menurut al-Jabiri tidak memiliki landasan metodik-teoritis untuk membicarakan masalah ini, memanfaatkan metode ahl al-Hadist –berlindung pada atsar dan ijma’ sahabat yang menempati posisi teks- untuk menentang teori syiah. Kepemimpinan Abu Bakar r.a dipilih berdasarkan ijma’ bukan ‘pemilihan’. Teorisasi kaedah penalaran tersebut yang -menurut Al-Jabiri- membentuk model penalaran yang berkembang di Arab-Islam, dan terwariskan hingga saat ini. Lihat, ibid.., h..

[42] Ibid.., h..

[43] Maqasid asy-Syari’ah adalah teori perumusan (istinbat) hukum dengan menjadikan tujuan penetapan hukum syara’ sebagai referensinya. Lihat, Al-Syathibi, al-Muwafaqat Fi Usul al-Syariah, Juz. II, Beirut, Dar al-Ma’rifah, 1996, h..

[44] Imam Al-Syatibi (w. 790 H) seorang ahli ushul fiqh bermadzhab Maliki dari Granada (Spanyol). Ia dikenal sebagai ulama yang merumuskan secara rinci tentang konsep maqashid asy-syari’ah. Dalam konsep maqashidnya, Imam Syatibi membagi mashlahat menjadi tiga bagian: pertama, ad-Dharuriyyah yaitu hal-hal yang mesti ada dalam mencapai maslahat dunia dan agama, yang terkenal dengan ad-dharuriyyat al-khamsa; hifdhu ad-din, hifdhu an-nafs, hifdh al-aql, hifdh al-nasl dan hifdh al-mal. Kedua, al-hajiyyah yaitu hal-hal yang diperlukan dalam mewujudkan suatu kemaslahatan dengan menghadirkan kemudahan dan menghilangkan kesulitan dan kesukaran. Seperti, rukhsah (keringanan) tidak berbuka puasa bagi orang yang sakit, dan disyari’atkanya menjama’ shalat bagi seorang musafir. ketiga adalah at-tahsiniyyah yang berarti sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan menghindarkan keburukan. Biasanya menyentuh hal-hal yang berkenaan dengan adab, dan kebiasaan yang jauh dari perilaku buruk yang bertentangan dengan akal sehat dan etika manusia, seperti menutup aurat dan berlebih-lebihan dalam segala hal. Tiga hal tersebut merupakan interpretasi dari maksud dan tujuan Maqashid al-syariah yang terkandung dalam teks hukum guna mewujudkan kemaslahatan ummat manusia. Lihat, ibid., h..

[45] Muhammad Abed al-Jabiri, Ad-Din wa Ad-Daulah.., bagian kedua, Bab. 5-10. Mengenai konsep mashlahah al-mursalah al-Syathibi secara rinci dapat dilihat dari kitabnya Al-Muwafaqat.

[46] Al-Syathibi, al-Muwafaqat.., h.. Dan juga dijelaskan oleh Ahmad al-Raisuni, Nazariyyat al-Maqasid ‘inda al-Imam al-Syatibi, Beirut, al-Maahad al-Alami li al-Fikr al-Islami, 1992, h..

[47] Ia menjelaskan secara panjang lebar tentang argumentasi Al-Qur’an, Sunnah dan sirah dalam mendukukung konsep HAM dalam bukunya Ad-Dimuqratiyyah wa Huququl Insan.

[48] Muhammad Abed al-Jabiri, ad-Dimuqratiyyah wa Huquq al-Insan, Beirut, Kitab fil Jaridah, 2006, h..

[49] Muhammad Abed al-Jabiri, Takwin al-‘Aql…, bagian ketiga, h..

[50] Al-Jabiri menuduh kedua tokoh tersebut (Ibnu Sina dan Al-Ghazali)  adalah pemikir cangkokan (hybrid), karena menggunakan dua sistem sekaligus (burhani dan irfani).  Dalam pandangan al-Jabiri, mereka menggunakan sistem epistemologi hanya untuk mendukung sistem irfani. Lihat, Muhammad ‘Abed Al-Jabiri, Nahnu wa at-Turats, h..

[51] Mazhab Almanawiyah merupakan penggabungan dari ajaran Zoroaster, Budha dan Nashrani yang berpegang pada Gnostisisme sekitar pertengahan abad ke 3 M. ajaran ini menyerukan untuk bersikap zuhud dan larangan untuk menikah. Mazhab gnostisisme ini memiliki keyakinan bahwa terciptanya alam adalah perpaduan antara cahaya dan kegelapan dan keduanya bersifat qadim (tiada permulaan). Karena itu pemisahan cahaya dari kegelapan dan penyelamatan manusia dari kejahatan hanya bisa berlangsung melalui proses “penyucian”, melalui zuhud dan pengendalian hawa nafsu. Dikutip dari Muhammad Abed al-Jabiri, Takwin al-‘Aql…, h..

[52] Ali Harb, Kritik Nalar…, h..

[53] Muhammad Abed al-Jabiri, Takwin al-‘Aql…, h..

[54] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, Malaysia, Universitas Sains Malaysia, 2007, h..

[55] Ali Harb, Kritik Nalar.., h..

[56] Dikutip dari Hamid Fahmi Zarkasyi, Al-Ghazali’s Concept of Causality: with Reference to His Interpretations of Reality and Knowledge, Kuala Lumpur, IIUM Press, 2010, h..

[57] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj. Khalif Muammar, Bandung, Pimpin, 2010, h..

[58] Shalah Ahmad Ibrahim, “ Tidak ada Masyriq dan Maghrib, yang ada satu wilayah” komentar terhadap al-Jabiri dalam buku Muhammad Abed al-Jabiri dan Hasan Hanafi, Membunuh Setan Dunia: meleburkan Timur dan Barat dalam Cakrawala Kritik dan Dialog, terj. Umar Bukhori, Yogyakarta, IRCiSoD, 2003, h..

[59] Ibid., h..

[60] Ali Harb, Kritik Nalar.., h..

[61] Muhammad Abid al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, terj. Mujiburrahman, Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru, 2001, h..

[62] Ibid..,h..

[63] Ibid., h..

[64] Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql.., h., lengkapnya lihat, Muhammad ‘Abed Al-Jabiri, Takwin al-‘Aql Al-‘Arabi…, h..

[65] Teori causality Aristoteles yang diadopsi oleh umumnya filosof Muslim dalam memahami wilayah metafisika dikritik secara tegas oleh Asy‘ariyah, bahwa segala sesuatu disebabkan langsung oleh  Tuhan, ‘setiap sebab adalah sebab transenden’. Api itu panas bukan karena “secara alami” ia panas, tapi karena Tuhan berkehendak demikian. Dikutip dari Sayyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, cet. 3, Lahore, Carvan Press, 1999, h..

[66] Muhammad Abed al-Jabiri, “Gagasan Transformasi Ibnu Rusyd, dalam buku, Ibnu Rusyd Gerbang Timur dan Barat, Jakarta, P3M, 2007, h..

[67] Dalam membahas masalah hubungan antara akal dan wahyu Ibnu Rusyd memberikan beberapa argumentasinya, ia menghubungkan bagaimana akal memiliki otoritas yang tinggi. Pertama, ia menentukan hukum belajar filsafat. Menurutnya belajar filsafat yaitu belajar pengetahuan tentang Tuhan, yaitu kegiatan mengkaji dan memikirkan segala sesuatu yang wujud (al-maujudat) yang merupakan produk ciptaan-Nya. Belajar filsafat untuk mengetahui bahwa adanya Sang Pencipta. Karena itu, menurut Ibnu Rusyd, belajar filsafat diwajibkan dan diperintahkan oleh wahyu. Kedua, ia menjustifikasi bahwa kebenaran yang diperoleh dari demonstrasi (al-burhan) sesuai dengan kebenaran yang diperoleh dari wahyu. Di sini ia berargumentasi bahwa di dalam al- Qur’an terdapat banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk menggunakan akal (nazar) untuk memahami segala yang wujud. Karena nazar ini tidak lain daripada proses berfikir yang menggunakan metode logika analogi (qiyas al-‘aqli), maka metode yang terbaik adalah metode demonstrasi (qiyas al-burhani). Sama seperti qiyas dalam ilmu Fiqh (qiyas al-fiqhi), yang digunakan untuk menyimpulkan ketentuan hukum, metode demonstrasi (qiyas al-burhan) digunakan untuk mamahami segala yang wujud (al-mawjudat). Hasil dari proses berfikir demonstratif ini adalah kebenaran dan tidak dapat bertentangan dengan kebenaran wahyu, karena kebenaran tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran.9 Kedua thesis diatas merupakan asas bagi kesimpulan Ibn Rusyd selanjutnya yang menyatakan bahwa para filosof memiliki otoritas untuk menta’wilkan al-Qur’an. Lihat, Ibnu Rusyd, Fash al-Maqan fima baina al-Hikmah wa al-Syari’ah wa al-Ittishal, Kairo, Darul Ma’arif, h.. Lihat juga, Hamid Fahmy Zarkasyi, “Akal dan Wahyu dalam Pandangan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Rusyd” dalam PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 1, Januari 2007, h..

[68] Muhammad Abed al-Jabiri, ad-Dimuqratiyyah wa Huquq al-Insan, Beirut, kitab fil Jaridah, 2006, h..

[69]  QS. Al-Baqarah [2]: 164.

[70] Muhammad Abed al-Jabiri, Takwin al-‘Aql Al-‘Arabi…, h..

[71] Ikhwan As-Shafa (Persaudaraan Kemurnian) adalah sebuah kelompok sufi yang terdiri dari para filsuf Arab Muslim, yang berpusat di BasraIrak -yang saat itu merupakan ibukota Kekhalifahan Abassiyah– di sekitar abad ke-10 Masehi. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Ikhwan_As-Shafa.

[72] Rasa’il ikhwan al-Shafa, Beirut, DarSadir, 1957, Juz. IV, h. 12. Lihat juga Muhammad Abed al-Jabiri, takwin al-‘Aql..h..

[73] Ibn Taimiyah, Dar’ Ta’arud, vol.I, ed. M. Rishad Salim, Kairo, Dar al-Kutub, 1981, h..

[74] Ibid., h..

[75] Positivisme sangat berkaitan erat dengan istilah naturalisme dan dapat dirunut asalnya ke pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam. Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/Positivisme. lihat juga, Nirwan Syafrin, Bayani, Irfani dan Burhani, dalam www.insistnet.com.

[76] Ali Harb, Kritik Nalar Al-Qur’an, terj. M. Faisol Fatawi, Yogyakarta, LKIS, 2003, h..

[77]  Lihat Taha ‘Abdurrahaman, Tajdid fi Taqwim al-Turats, Beirut,  al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1994.

[78]   Muhammad Abed al-Jabiri dan Hassan Hanafi, Hiwar al-Masyriq.., h..

[79] Dikutip dari Nirwan Syafrin, Bayani, Irfani dan Burhani, makalah dalam www.insistnet.com.

Tinggalkan komentar